Home > coastal management, coral reef, ekosistem pesisir, terumbu karang > HERBIVORI DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

HERBIVORI DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG


Ditulis oleh Imam Bachtiar
Pusat Penelitian Pesisir dan Laut, Universitas Mataram
bachtiar.coral@gmail.com

1. Pengenalan Istilah Herbivori
Herbivori (herbivory) atau grazing adalah proses atau kegiatan hewan herbivora mengkonsumsi bagian tubuh tanaman, dimana tanaman tidak mati akibat kegiatan tersebut. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), padanan kata untuk kedua istilah tersebut belum ada. Sebagian peneliti telah menggunakan istilah ‘perumputan’ sebagai padanan kata ‘grazing’, walaupun perumputan juga tidak masuk di dalam KBBI. Pada kamus tersebut sudah dikenal istilah ‘herbivora’ sebagai kata serapan dari bahasa asing, sehingga istilah ‘herbivori’ sebagai perubahan bentuk dari kata ‘herbivora’ digunakan di dalam tulisan ini. Penggunaan istilah ‘perumputan’ dapat memberikan kesan hanya mempunyai arti pemakanan rumput, tidak termasuk makroalga atau tanaman lainnya. Di dalam publikasi ilmiah tentang ekologi terumbu karang penggunaan istilah ‘herbivory’ juga lebih banyak dibandingkan dengan ‘grazing’.
Pada ekosistem terumbu karang, hewan pemakan tanaman atau herbivora merupakan komponen pengendali utama pertumbuhan tanaman makroalga. Makroalga merupakan biota yang sangat penting di dalam terumbu karang. Sebagai produsen primer, makroalga menambah daya dukung ekosistem terumbu karang. Kemampuannya untuk tumbuh secara cepat dapat berdampak negatif terhadap komunitas karang yang tumbuhnya lambat. Hingga saat ini telah tersedia kajian (review) dan sintesis tentang herbivori atau yang terkait dengannya pada sejumlah jurnal, diantaranya yang paling berpengaruh adalah Stenneck (1988), Hay (1997), McCook et al. (2001). Di dalam kajian pustaka ini, sejumlah kajian mereka yang sangat relevan dikaji ulang dan ditambahkan dengan sejumlah fakta baru yang belum tersedia ketika kajian tersebut dipublikasikan.
Herbivori merupakan satu proses ekologis yang sangat penting pada ekosistem terumbu karang. Herbivori merupakan satu-satunya mekanisme yang mengendalikan kelimpahan makroalga. Jika pertumbuhan makroalga tidak dikendalikan maka komunitas makroalga akan segera mendominasi terumbu karang. Dominansi makroalga berdampak negatif pada komunitas karang batu. Herbivori menyediakan ruang kosong untuk penempelan larva karang. Herbivora yang lebih besar tidak hanya mencabik makroalga tetapi juga memarut dasar terumbu tempat tumbuhnya makroalga. Bagian kapur terumbu yang terbuka akibat cabikan tersebut akan segera ditumbuhi oleh bakteri dan layak untuk menjadi tempat penempelan larva planula karang.

2. Herbivora dalam Herbivori
Ikan-ikan herbivora merupakan pelaku utama dari herbivori, disamping bulu babi (Echinoidea). Heman-hewan terumbu karang yang dilaporkan melakukan herbivori meliputi Polychaeta, Arthropoda, Echinodermata dan Pisces (Tabel 2.1). Di antara hewan-hewan herbivora tersebut bulu babi Diadema spp serta ikan-ikan Scarus spp. dan Siganus spp. merupakan kelompok herbivora yang utama. Di Jamaica, ketika penangkapan ikan telah merusak populasi ikan-ikan herbivora, maka peran fungsional ikan herbivora diisi oleh Diadema antillarum (Hughes, 1994). Tetapi Jackson et al. (2001) merevisi pandangan tersebut dengan menunjukkan fakta bahwa sejak jaman purba kelimpahan D. antillarum sudah selalu tinggi di Jamaica. Sebelum manusia menurunkan populasi herbivora yang lebih besar, misalnya duyung dan penyu, diduga keduanya memiliki peran fungsional yang sangat penting. Hilangnya kedua herbivora besar diganti dengan peran ikan-ikan herbivora. Penangkapan berlebihan ikan-ikan herbivora mengurangi kelimpahan populasi mereka sehingga perannya digantikan oleh D. antillarum.
blog-herbivori-1
Ikan-ikan herbivora di terumbu karang terdiri atas empat famili, yaitu Achanthuridae, Scaridae, Siganidae dan Kyphosidae. Dari keempat famili tersebut, tiga famili yang pertama merupakan ikan herbivora utama. Russ (1984a) yang melakukan survei herbivori pada sembilan terumbu karang di GBR membatasi ikan herbivora pada famili Achanthuridae, Scaridae dan Siganidae. Di Lizard Island, GBR, dan sekitarnya, kelimpahan ketiga ikan herbivora utama masing-masing adalah Achanthuridae (54%), Scaridae (31%) dan Siganidae (14%) (Meekan and Choat 1997). Di San Blas Islands, Panama, Meekan and Choat juga melaporkan pola yang serupa, walaupun ada satu lokasi dimana Kyphosidae menunjukkan proporsi kelimpahan yang sebanding dengan Achanthuridae, Scaridae dan Siganidae. Di Ambergris Caye, Belize, komposisi biomassa ikan herbivora berbeda dari Lizard Island dan San Blas Islands tersebut dengan Scaridae (65,4%) paling dominan diiukti oleh Acanthuridae (30,1%) dan Pomacentridae (4,5%) (Williams et al. 2001). Herbivori oleh Pomacentridae bersifat khusus karena teritorial sehingga tidak dibahas bersama dengan herbivori oleh Scaridae, Acanthuridae dan Siganidae.
Di dalam Famili Scaridae, ikan-ikan tersebut juga menunjukkan adanya variasi fungsi ekologis. Di the Great Barrier Reef (GBR) Australia, ikan-ikan herbivora Scaridae telah diklasifikasikan berdasarkan osteologi dan myologi dari rahang oral dan pharyngeal ke dalam tiga kelompok fungsional, yaitu : sebagai penggali atau excavators (Bolbometopon muricatum, Cetoscarus bicolor dan Chlorurus spp), penggaruk atau scrapers (Hipposcarus spp and Scarus spp), dan pemanen atau croppers (Calotomus spp, dan Leptoscarus vaigiensis) (Bellwood and Choat 1990; Bellwood 1994). Ikan penggali dan penggaruk memakan makroalga dan sekaligus polip karang. Kedua kelompok ini membuka ruang penempelan bagi larva karang dan spora makroalga. Ikan pemanen hanya memakan makroalga sehingga anakan karang dapat tumbuh dengan lebih baik.
Penangkapan ikan yang intensif dapat merubah struktur komunitas ikan pada terumbu karang. Di Hawaii, komunitas ikan pada terumbu yang penangkapan ikannya rendah mempunyai komposisi ikan predator atas (apex predator) 54% dengan ikan herbivora 28%, sedangkan pada terumbu yang tinggi penangkapannya komunitas ikan memiliki ikan predator atas hanya 3% dengan ikan herbivora 55% (Friedlander and deMartini 2002). Di perairan pantai Indonesia, pada umumnya penangkapan ikan demersal sangat tinggi karena sebagian besar armada nelayan subsisten hanya mampu beroperasi di kawasan terumbu karang.

3. Makroalga dalam Herbivori
Makroalga merupakan korban utama dari herbivori. Makroalga yang menjadi target dari hewan herbivora dapat dikelompokkan berdasarkan fungsi ekologisnya. Stenneck (1988) membuat tujuh kelompok fungsional alga di terumbu karang, termasuk mikroalga dan turf algae. Di dalam kaitannya dengan herbivori oleh makrobenthos atau ikan-ikan herbivora, mikroalga tidak termasuk di dalamnya. McClannahan (2003) mengelompokkan makroalga menjadi lima kelompok, yaitu turf algae, frondose, crustose-coralline, geniculated-coralline, crustose non-coralline dan crustose coralline (Tabel 2.2).

Di dalam herbivori, ikan-ikan herbivora memiliki preferensi terhadap makroalga tertentu. Makroalga Sargassum merupakan makanan favorit ikan herbivora dibandingkan dengan Padina di Orpheus Island, GBR. Dalam percobaan in situ, thallus Sargassum yang berupa tanaman utuh berkurang sekitar 50% hanya dalam waktu 4,5 jam didedahkan di terumbu, sedangkan thallus yang berupa potongan tanaman berkurang sekitar 54% (Fox and Bellwood 2008). Di dalam suatu percobaan “pilihan ganda”, dari 12 jenis makroalga yang disediakan ada empat jenis makroalga yang paling banyak dimakan ikan herbivora. Mantyka and Bellwood (2007) melaporkan bahwa biomasa makroalga Sargassum sp, Hypnea sp, Laurencia sp1 dan Laurencia sp2 tersisa kurang dari 5 % dalam waktu tiga jam pertama pada percobaan pilihan ganda tersebut.
blog-herbivori-2

Percobaan pilihan ganda juga menunjukkan bahwa makroalga Cholorodesmis fastigiata dan Galaxaura sp merupakan makroalga yang paling tidak disukai sebagai makanan. Setelah 24 jam pendedahan kedua jenis makroalga tersebut, biomassa yang berkurang berurutan sekitar 54% dan 60 % dari biomasa awal (Mantyka and Belwood 2007). Makroalga C. fastigiata merupakan Chlorophyta yang lunak dan berbentuk filamen, sedangkan Galaxaura sp merupakan Rhodophyta yang bercabang dan berthallus kuat. Pertahanan diri dari kedua makroalga tersebut diduga sebagai penyebab tingginya resistensi mereka terhadap herbivori.
Di dalam hubungan herbivori, tanaman sebagai pihak yang mempertahankan diri harus mengembangkan upaya evolusioner agar dapat tetap tumbuh dan berkembangbiak. Hay (1997) memberikan kejian (review) yang lengkap tentang bermacam-macam upaya evolusioner yang dilakukan oleh makroalga untuk menurunkan kerugian akibat herbivori. Upaya evolusioner makroalga untuk meningkatkan resistensi terhadap herbivori dilakukan dengan menghasilkan suatu struktur atau bahan kimia yang tidak disukai oleh pemakannya, yang disebut sebagai deterrants. Struktur thallus yang berkapur atau yang berbentuk padat dan keras, misalnya, dapat dihindari oleh herbivora tertentu. Demikian pula dengan dihasilkannya metabolit sekunder yang dapat menyebabkan herbivora mengalami gangguan ketika memakannya. Sebagian makroalga meningkatkan resistensi dengan jalan meningkatkan laju pemulihan (turnover), misalnya turf algae. Strukturnya yang sederhana dan membutuhkan sedikit bahan penyusun membuat turf algae dapat terus bertahan walaupun laju herbivori sangat tinggi.

4. Peran Herbivori dalam Ekosistem Terumbu Karang
Di dalam kondisi mesotrofik atu eutrofik, peran herbivori sangat penting untuk mempertahankan komunitas karang dalam berkompetisi dengan makroalga. Dalam kondisi banyak nutrien, kecepatan pertumbuhan makroalga yang pesat dapat membuat makroalga menutupi karang (overgrowth). Karang yang kalah dalam kompetisi spasial tersebut mengalami kekurangan cahaya matahari sehingga terjadi penurunan metabolisme dan pertumbuhan.
Secara alami makroalga merupakan biota yang sangat cepat menempati setiap ruang yang kosong. Jika herbivori dihilangkan dari kawasan tersebut, larva karang sulit mendapatkan substrat keras untuk menempel dan tumbuh. Larva planula karang sangat membutuhkan kehadiran hewan herbivora untuk membuka ruang yang penuh makroalga sehingga dapat menjadi tempat penempelan. Kehadiran hewan herbivora juga dibutuhkan anakan karang agar makroalga tidak menghalanginya dari sinar matahari. Laju kelulushidupan koloni karang dilaporkan rendah dengan adanya makroalga yang tumbuh didekatnya (Lirman 2001).
Sebagian makroalga dapat secara aktif menyerang jaringan karang di dalam kompetisi memperebutkan ruang. Pada awalnya McCook (2001) meragukan apakah makroalga dapat menyerang karang secara agresif, ataukah hanya sekedar menutupi karang dari cahaya matahari. Dari kajian pustaka hingga tahun 2001 tersebut, makroalga dianggap tidak dapat menyebabkan kematian karang melainkan secara tidak langsung menurunkan kelulushidupan karang. Kecepatan tumbuh makroalga yang dapat memberikan dampak negatif terhadap komunitas karang dianggap hanya muncul jika terjadi pengkayaan nutrien. Tetapi Jompa and McCook (2003a,b) melaporkan fakta baru bahwa ‘turf algae’ Anotrichium tenue dan Corallophila huysmansii dapat tumbuh menutupi dan melukai jaringan karang Porites.
Kehadiran ikan herbivora dapat menjadi penyelamat karang tertentu dari agresivitas makroalga tersebut. Di GBR, makroalga Sargassum siliquosum yang ditransplantasi dari terumbu di paparan dalam ke paparan tengah dapat tumbuh dengan baik jika dikurung dari hewan herbivora (McCook 1996). Hasil ini menunjukkan bahwa kelimpahan ikan herbivora yang tinggi pada paparan tengah sebagai faktor pembatas dari distribusi makroalga tersebut, sedangkan analisis jaringan menunjukkan nutrient (N, P) bukan merupakan faktor pembatas. Peranan ikan herbivora mungkin bukan satu-satunya faktor pembatas dari kelimpahan makroalga. Di kawasan Karibia, Williams et al. (2001) menemukan bahwa makroalga sangat banyak di terumbu paparan tengah walaupun penangkapan ikan sangat sedikit. Percobaan dengan menggunakan ‘karang palsu’ menunjukkan bahwa tingginya tutupan makroalga dipicu oleh rendahnya tutupan karang. Pertumbuhan makroalga yang cepat terlalu banyak untuk dikonsumsi oleh herbivora yang ada.
Herbivori dilaporkan bervariasi antar paparan terumbu (reef-shelves), karena kelimpahan herbivora bervariasi antar paparan terumbu. Pada Central Section GBR, Russ (1984a) melaporkan bahwa kelimpahan ikan herbivora Acanthuridae dan Scaridae sangat bervariasi antar paparan terumbu, sedangkan Siganidae tidak banyak berubah. Jumlah spesies dan kelimpahan populasi Acanthuridae dan Scaridae umumnya lebih tinggi pada paparan tengah (midshelf) dan paparan luar (outershelf), sedangkan paparan dalam (innershelf) banyak ditempati oleh Siganidae. Pada Northern Section GBR, komunitas Scaridae menunjukkan kelimpahan yang tinggi dan biomasa yang rendah paparan dalam (innershelf), sedangkan Scaridae menunjukkan kelimpahan rendah dengan biomasa tinggi sedangkan pada paparan luar (Hoey and Bellwood 2008). Temuan ini juga mencerminkan adanya perbedaan ukuran tubuh dan komposisi jenis komunitas ikan Scaridae antar paparan. Ikan Bolbometapon muricatum yang berukuran besar banyak ditemukan pada paparan luar dan menjadi pelaku utama dari erosi kapur (87%) dan pemangsaan karang (99%), sedangkan ikan Scarus rivulatus merupakan pelaku herbivori yang utama pada paparan dalam (70%) (Hoey and Bellwood 2008).
Dalam skala puluhan atau ratusan kilometer, hewan herbivora yang berperan penting dalam herbivori dapat berbeda. Pada terumbu karang di Nymph Island dan Turtle Group, GBR, ikan Scarus rivulatus dilaporkan merupakan herbivora yang paling penting (Hoey and Bellwood 2008), sedangkan ikan Siganus canaliculatus dilaporkan merupakan ikan herbivora penting pada terumbu karang di Pioneer Bay, Orphues Island (Fox and Bellwood 2008). Jarak antara kedua lokasi tersebut ratusan kilometer.
Herbivori juga dapat bervariasi antar habitat karena ikan herbivora menunjukkan perbedaan antar habitat di dalam terumbu karang. Berdasarkan pengamatan pada lima habitat (rataan terumbu, gudus, goba, tubir dan back-reef) di enam terumbu karang di Central GBR, Russ (1984b) menyatakan bahwa ikan Acanthuridae dan Scaridae umumnya lebih tinggi di gudus dan goba daripada di tubir dan rataan terumbu, sedangkan ikan Siganidae lebih banyak di goba dan back-reef daripada di tiga habitat lainnya. Fox and Bellwood (2008) juga melaporkan bahwa di Orpheous Island, Central GBR, makroalga Sargassum dan Padina lebih banyak dimakan ikan herbivora di gudus (reef crest) daripada di tubir (reef slope).
Di Indonesia, peranan herbivori di dalam terumbu karang belum diketahui karena belum ada penelitian tentang topik ini. Kawasan Asia tenggara merupakan kawasan yang kosong dari penelitian herbivori terumbu karang (McCook 2001). Karena itu, penelitian tentang herbivore sangat dibutuhkan untuk memahami pola herbivori di kawasan yang menjadi pusat keanekaragaman karang.

5. Faktor Pengendali Hewan Herbivora
Secara alami hewan herbivora merupakan makanan dari karnivora atau pemangsa (predator). Di perairan yang dekat dengan kampung nelayan, maka pengendali populasi ikan herbivora adalah manusia. Ikan-ikan herbivora berukuran besar telah lama menjadi target penangkapan. Ikan-ikan Scaridae yang memiliki ukuran besar tersebut meliputi B. muricatum (panjang total mencapai 1.200 mm TL), Chlorurus microrhinos dan C. bicolor (sampai 800 mm TL), serta Chlorurus bleekeri, Chlorurus japanensis dan Chlorurus sordidus (sampai 400 mm TL). Di terumbu karang Indonesia keenam jenis ikan herbivore besar tersebut tidak tercatat di dalam survey LIPI di perairan Lombok, Nias dan Banggai (Suharsono et al. 1995a,b,c).
Penangkapan ikan untuk konsumsi biasanya mencari target ikan-ikan karnivora karena mempunyai harga lebih tinggi, misalnya kerapu atau kakap. Ketika ikan-ikan karnivora mulai sulit ditangkap karena populasinya rendah, penangkapan ikan beralih target pada ikan-ikan herbivora. Penangkapan ikan ke tingkat trofik yang lebih rendah ini merupakan indikasi adanya beban tangkapan yang berlebihan.
Di dalam kawasan yang terlindung dari penangkapan ikan, pengendali populasi ikan herbivora adalah ikan piscivora (pemakan ikan). Pemangsa dari ikan herbivora (parrotfish) meliputi Serranidae, Lutjanidae, Barracuda, dan Moray eels. Ikan kerapu Epinephelus inserti merupakan salah satu pemangsa ikan herbivora Scarus dan Sparisoma di kawasan Karibia (Mumby et al. 2006).
Pada kawasan konservasi yang efektif, kelimpahan karnivora akan terjaga dari penangkapan ikan. Tingginya kelimpahan ikan karnivora dikhawatirkan akan mengurangi kelimpahan ikan herbivora sehingga berpengaruh pada penurunan herbivori. Di dalam kawasan konservasi ECLSP (Exuma Cays Land and Sea Park), Karibia, dilaporkan biomasa ikan piscivora tujuh kali lebih tinggi daripada di luarnya (Mumby et al. 2006). Walaupun demikian, ternyata di kawasan yang sama kelimpahan ikan herbivora juga lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa herbivori tidak berkurang di dalam kawasan konservasi, karena ikan piscivora tidak dapat memangsa ikan herbivora ukuran besar. Di kawasan ECLSP, tutupan makroalga empat kali lebih rendah daripada di luar kawasan konservasi. Kawasan konservasi ECLSP dibentuk sejak tahun 1959.
Pada tiga kawasan SPA (Special Protected Area) di dalam Florida Keys National Marine Sanctuary (FKNMS), Kramer and Heck Jr (2007) melaporkan hasil yang berbeda bahwa intensitas herbivori di dalam kawasan tidak berbeda dengan di luar kawasan SPA. Di dalam kawasan SPA kelimpahan, ukuran tubuh dan biomas ikan predator lebih tinggi dibandingkan dengan di luar kawasan. Ikan herbivora ukuran besar lebih tinggi kelimpahannya di dalam kawasan SPA daripada di luarnya, sedangkan ikan herbivora ukuran kecil (juvenil) lebih rendah di dalam SPA. Intensitas herbivori di dalam dan di luar SPA tidak berbeda. Hasil ini menunjukkan bahwa walaupun SPA dapat melindungi ikan predator dalam 10 tahun sejak penetapan SPA, tetapi waktu tersebut masih terlalu singkat untuk dapat memberikan dampak pada komunitas benthos.

6. Herbivori di dalam Pengelolaan Terumbu Karang
Herbivori merupakan faktor yang sangat penting dalam resiliensi terumbu karang. Ketika terjadi gangguan fisik yang menyebabkan kematian karang, maka herbivori merupakan sarana bagi komunitas karang untuk mengkoloni kembali ruang yang ditinggalkannya. Gangguan fisik yang menyebabkan karang mati secara massal banyak terjadi di terumbu karang, misalnya pemutihan karang (coral bleaching) dan penyakit karang. Tanpa kehadiran ikan herbivora, pemulihan komunitas karang akan terhambat oleh dominansi makroalga yang cepat menempati ruang yang ditinggalkan karang.
Herbivori juga mempunyai peran yang sangat penting ketika terjadi pengkayaan nutrien. Di kawasan tropis yang banyak berupa negara berkembang, pencemaran nutrien ke laut merupakan peristiwa sehari-hari. Nutrien tersebut dapat berasal dari pertanian, perumahan, peternakan maupun industri. Pertumbuhan makroalga yang sangat cepat akibat penambahan nutrien harus dapat diimbangi dengan pengkonsumsian makroalga yang banyak pula, agar komunitas karang tidak banyak terganggu.
Peran herbivori di dalam resiliensi terumbu karang tersebut sangat besar sehingga pengelolaan terumbu karang seharusnya juga menangani herbivori secara khusus. Hewan-hewan herbivora penting harus mendapat prioritas perlindungan di dalam pengelolaan terumbu karang. Perlindungan hewan herbivora penting dapat dilakukan melalui perlindungan habitat atau perlindungan spesies. Perlindungan habitat dilaksanakan pada kawasan-kawasan konservasi. Perlindungan spesies dilakukan melalui pelarangan penangkapan dan perdagangan sumberdaya ikan tertentu.
Pengintegrasian perlindungan herbivori di dalam pengelolaan terumbu karang memerlukan minimal tiga informasi awal: a) Hewan herbivora manakah yang paling penting?; b) Bagaimanakah status populasi hewan herbivora tersebut?; dan c) Dapatkah eksploitasi hewan herbivora penting tersebut dilanjutkan? Ketiga pertanyaan ini harus dijawab berdasarkan kondisi kawasan terumbu karang. Kawasan perairan oligotrofik akan mempunyai karakter yang berbeda dengan perairan yang mesotrofik atau eutrofik.

7. Metode Penelitian Herbivori
Pentingnya kehadiran suatu herbivora pada suatu terumbu karang dinilai berdasarkan penelitian korelasional dan eksperimental. Penelitian yang bersifat korelasional menggunakan sejumlah data survei antara kelimpahan hewan herbivora dan tutupan karang batu. Pada umumnya ditemukan bahwa kelimpahan herbivora berkorelasi negatif dengan tutupan makroalga (Williams and Polunin 2001, Idjadi et al. 2006). Penelitian yang eksperimental dilakukan dengan menggunakan kurungan untuk melihat dampak ketidakhadiran (exclusion) herbivora di dalam unit contoh (Lirman et al. 2001; Thacker et al. 2001, McClannahan et al 2003; Bellwood et al 2006).
Ukuran kurungan dan lubang kurungan serta lama waktu percobaan sangat tergantung pada ukuran hewan herbivora dan ukuran makroalga yang diteliti. Ukuran kurungan yang digunakan di dalam percobaan eksklusi tersebut bervariasi dari kurungan kecil berbentuk silinder ukuran 5699 cm3 (Lirman 2001), hingga kurungan besar berbentuk kubus ukuran 125.000.000 cm3 (Bellwood et al. 2006; Hughes et al. 2007) (Tabel 2). Lama waktu percobaan juga sangat bervariasi dari 2,25 bulan hingga 30 bulan. Percobaan yang meliputi pengeluaran (eksklusi) ikan-ikan Pomacentridae membutuhkan ukuran lubang kurungan yang lebih kecil. Percobaan yang mengukur turf algae dapat dilakukan lebih cepat, karena kelompok turf algae memiliki pertumbuhan yang sangat cepat.

blog-herbivori-3
Pentingnya herbivori di dalam resiliensi terumbu karang biasanya diukur dari biomassa atau keanekaragaman makroalga yang terdapat di dalam kurungan. Perbedaan biomassa atau keanekaragaman makroalga antara contoh di dalam kurungan dengan di luar kurungan merupakan dampak dari ketidak-hadiran hewan herbivora. Dari delapan penelitian eksperimental dengan kurungan yang dilakukan, tujuh buah melaporkan adanya dampak ketidakhadiran herbivora terhadap komunitas makroalga (Tabel 2). Jika ada pertumbuhan makroalga yang besar pada contoh yang tanpa herbivora, maka disimpulkan bahwa kehadiran makroalga tersebut akan menghambat penempelan larva karang atau menurunkan kelulushidupan karang. Penelitian yang menguji langsung dampak ketidakhadiran herbivora terhadap penempelan larva karang atau kelulushidupan karang hanya dilakukan oleh Sammarco and Carleton (1981).
Laju herbivori merupakan unsur yang sangat penting dalam melihat dampak herbivori atau menentukan hewan yang manakah yang lebih penting dalam herbivori di suatu tempat. Para peneliti menggunakan jumlah cabikan mulut sebagai cara mengukur intensitas herbivori, misalnya McClannahan (2003). Peneliti lainnya menghitung jumlah cabikan dan biomassa ikan yang melakukan herbivori, sebagaimana yang dilakukan Mantyka and Bellwood (2007). Biomassa ikan yang diperkirakan dari panjang tubuhnya dapat menunjukkan dampak cabikan standar (standardized bite impact). Dengan menghitung jumlah dan volume cabikan kita dapat menaksir volume tanaman yang dikonsumsi oleh herbivora tersebut. Konversi panjang tubuh ke dalam biomassa ikan-ikan herbivora digunakan suatu konstanta regresi linier yang dikumpulkan Albert et al. (2008) dari sejumlah publikasi.
Volume cabikan juga dapat diperkirakan melalui pengukuran panjang rahang. Dengan memperkirakan panjang tubuh ikan di dalam air kita dapat menaksir panjang rahang dengan suatu faktor konversi tertentu. Fereira et al (1998) memperkirakan volume cabikan ikan Stegastes fuscus dengan percobaan di dalam laboratorium. Ikan S. fuscus dibiarkan kelaparan secara bertahap hingga 24 jam. Pada kondisi perut yang kosong sama sekali, ikan diberi kesempatan makan sekitar 50 cabikan sebelum perutnya dibedah dan ditimbang berat kering dari isi perut tersebut. Dengan cara ini kita mendapatkan biomasa cabikan dan volume dari setiap cabikan ikan S. fuscus.
Jumlah cabikan dihitung secara in situ dengan observasi langsung atau dengan kamera video bawah air. Pengamatan oleh penyelam di bawah air memiliki banyak keterbatasan. Lama penyelaman merupakan faktor utama yang membuat penyelam tidak dapat mengamati jumlah cabikan selama yang diinginkannya. Kehadiran penyelam juga dapat mempengaruhi jumlah cabikan ikan herbivora. Kedua alasan tersebut menjadikan metode pangamatan dengan kamera video semakin banyak digunakan orang. Perkembangan teknologi kamera video yang pesat telah memungkinkan perekaman selama sembilan jam tanpa henti, yang mempermudah peneliti menghitung variasi cabikan secara temporal.
REFERENSI
Albert S, Udy J, Tibbetts IR. 2008. Responses of algal communities to gradients in herbivore biomass and water quality in Marovo Lagoon, Solomon Islands. Coral Reefs 27:73–82
Alvez FMA, Chicharo LM, Serrao M, Abreau D. 2003. Grazing by Diadema antillarum (Phillippi) upon algal communities on rocky substrates. Scientia Marina 67(3):307-311
Bellwood DR, Hughes TP, Folke C, Nystroem M. 2004. Confronting the coral reef crisis. Nature 429: 827-833
Ferreira CEL, Goncalves JEA, Coutinho R, Peret AC. 1998. Herbivory by the Dusky Damselfish Stegastes fuscus (Cuvier, 1830) in a tropical rocky shore: effects on the benthic community. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 229:241–264
Friedlander AM, DeMartini EE. 2002. Contrasts in density, size, and biomass of reef fishes between the northwestern and the main Hawaiian islands: the effects of fishing down apex predators. Mar Ecol Prog Ser 230: 253–264
Grimsditch GD and Salm RV. 2006. Coral Reef Resilience and Resistance to Bleaching. The World Conservation Union: Gland, Switzerland. Pp. 52.
Harvell CD, Mitchell CE, Ward JR, Altizer S, Dobson AP, Ostfeld RS, Samuel MD. 2002. Climate warming and disease risks for terrestrial and marine biota. Science 296:2158–2162.
Hoegh-Guldberg O. 1999. Climate Change, Coral Bleaching and the Future of the World’s Coral. Greenpeace. Pp. 28.
Hoey AS and Bellwood DR. 2008. Cross-shelf variation in the role of parrotfishes on the Great Barrier Reef. Coral Reef 27:37-47.
Hoey AS and Bellwood DR. 2008. Cross-shelf variation in the role of parrotfishes on the Great Barrier Reef. Coral Reefs 27:37–47
Hughes TP, Baird AH, Bellwood DR, Card M, Connolly SR, Folke C, Grosberg R, Hoegh-Guldberg O, Jackson JBC, Kleypas J, Lough JM, Marshall P, Nystrom M, Palumbi SR, Pandolfi JM, Rosen B, and Roughgarden J. 2003. Climate change, human impacts, and the resilience of coral reefs. Science 301: 929-933.
Hughes TP, Bellwood DR, Folke CS, McCook LJ and Pandolfi JM. 2006. No-take areas, herbivory and coral reef resilience. TRENDS in Ecology and Evolution 22: 1-3.
Hughes TP, Rodrigues MJ, Bellwood DR, Ceccarelli D, Hoegh-Guldberg O, McCook L, Moltschaniwskyj N, Pratchett MS, Steneck RS and Willis B. 2007. Phase shifts, herbivory, and the resilience of coral reefs to climate change. Current Biology 17: 1–6.
Idjadi JA, Lee SC, Bruno JF, Precht WF, Allen-Requa L, Edmunds PJ. 2006. Rapid phase-shift reversal on a Jamaican coral reef. Coral Reefs 25:209–211
Jackson JBC, Kirby MX, Berger WH, Bjomdal KA, Botsford LW, Bourque BJ, Bradbury RH, Cooke R, Erlandson J, Estes JA, Hughes TP, Kidwell S, Lange CB, Lenihan HS, Pandolfi JM, Peterson CH, Stenneck RS, Tegner MJ and Warner RR. 2001. Historical overÞshing and the recent collapse of coastal ecosystems. Science 293: 629-628.
Jompa J, McCook LJ. 2003. Contrasting effects of turf algae on corals: massive Porites spp. are unaffected by mixed-species turfs, but killed by the red alga Anotrichium tenue. Mar Ecol Prog Ser 258: 79–86
Jompa J, McCook LJ. 2003. Coral–algal competition: macroalgae with different properties have different effects on corals. Mar Ecol Prog Ser 258: 87–95
Jones RJ, Bowyer J, Hough-Guldberg O, Blackall LL. 2004. Dynamics of a temperature-related coral disease outbreak. Marine Ecology Progress Series 281:63–77.
Kleypas JA, Buddemeier RW, Archer D, Gattuso J-P, Langdon C and Opdyke BN. 1999. Geochemical consequences of increased atmospheric carbon dioxide on coral reefs. Science 284: 118-120.
Kramer KL and Heck Jr KL. 2007. Top-down trophic shifts in Florida Keys patch reef marine protected areas. Mar Ecol Prog Ser 349: 111–123
Kuffner IB, Walters LJ, Becerr MA, Paul VJ, Ritson-Williams R, and Beach KS. 2006. Inhibition of coral recruitment by macroalgae and cyanobacteria. Marine Ecology Progress Series 323: 107-117.
Ledlie MH, Graham NAJ, Bythell JC, Wilson SK, Jennings S, Polunin NVC and Hardcastle J. 2007. Phase shifts and the role of herbivory in the resilience of coral reefs. Coral Reefs 26: 641–653.
Lirman D. 2001. Competition between macroalgae and corals: effects of herbivore exclusion and increased algal biomass on coral survivorship and growth. Coral Reefs 19: 392-399.
Lundberg J and Moberg F. 2003. Mobile Link Organisms and Ecosystem Functioning: Implications for Ecosystem Resilience and Management. Ecosystems 6: 87–98.
Mantyka CS and Bellwood DR. 2007. Direct evaluation of macroalgal removal by herbivorous coral reef fishes. Coral Reefs 26: 435–442.
McClannahan TR, Sala E, Stickels PA, Cokos BA,Baker AC, Starger CJ, and Jones IV SH. 2003. Interaction between nutrients and herbivory in controlling algal communities and coral condition on Glover’s Reef, Belize. Marine Ecology Progress Series 261: 135–147.
McCook LJ. 1996. Effects of herbivores and water quality on Sargassum distribution on the central Great Barrier Reef: cross-shelf transplants. Mar Ecol Prog Ser 139: 179-192.1996.
McCook LJ, Jompa J, Diaz-Pulido G. 2001. Competition between corals and algae on coral reefs: a review of evidence and mechanism. Coral Reefs 19:400-417.
Meekan MG and Choat JH. 1997. Latitudinal variation in abundance of herbivorous fishes: a comparison of temperate and tropical reefs Marine Biology (1997) 128: 373-383
Mumby PJ, Dahlgren CP, Harborne AR, Kappel CV, Micheli F, Brumbaugh DR, Holmes KE, Mendes JM, Broad K, Sanchirico JN, Buch K, Box S, Stoffle RW, Gill AB (2006) Fishing, trophic cascades, and the process of grazing on coral reefs. Science 311:98-101
Peterson G, Allen CR and Holling CS. 1998. Ecological resilience, biodiversity and scale. Ecosystems 1: 6–18.
Russ GR. 1984a. Distribution and abundance of herbivorous grazing fishes in the central Great Barrier Reef. I. Levels of variability across the entire continental shelf. Mar Ecol Prog Ser 20:23–34
Russ GR. 1984b. Distribution and abundance of herbivorous grazing fishes in the central Great Barrier Reef. II. Patterns of zonation of mid-shelf and outershelf reefs. Mar Ecol Prog Ser 20:35–44
Sammarco, PW and Carleton JH. 1981. Damselfish territoriality and coral community stucture: reduced grazing, coral recruitment and effects on coral spat. Proc. 4th Int. Coral Reef Symp Manila Vol 2: 523-535.
Smith JE, Smith CM, Hunter CL. 2001. Experimental analysis of the effects of herbivory and nutrient enrichment on benthic community dynamics on a Hawaiian reefs. Coral Reefs 19:332-342.
Suharsono, Adrim M, Budiyanto A, Giyanto, Ibrahim A, Yahmantoro, Telambanua ZA. 1995. Wisata Bahari Pulau Nias. LIPI Jakarta.
Suharsono, Adrim M, Soeroyo, Yosephine TH, Budiyanto A, Irawan D, Arwono B, Sasbianto T. 1995. Wisata Bahari Pulau Lombok. LIPI Jakarta.
Suharsono, Sukarno R, Adrim M, Arief D, Budiyanto A, Giyanto, Ibrahim A, Yahmantoro. 1995. Wisata Bahari Kepulauan Banggai. LIPI Jakarta.
Thacker RW, Ginsberg DW, Paul VJ. 2001. Effects of herbivore exclusion and nutrient enrichment on coral reef macroalgae and cyanobacteria. Coral Reefs 19:318-329.
Wilkinson C (editor). 2004. Status of Coral Reefs of the World. Australian Institute of Marine Science. Townsville.
Williams ID, and Polumin NVC. 2001. Large-scale associations between macroalgal cover and grazer biomass on middepth reefs in the Caribbean. Coral Reef 19:358-366.
Williams ID, Polunin NVC, Hendrick VJ. 2001. Limits to grazing by herbivorous fishes and the impact of low coral cover on macroalgal abundance on a coral reef in Belize. Mar Ecol Prog Ser 222: 187–196

  1. Ahmad Syukri
    December 21, 2008 at 5:26 am

    Thanks for the new informations

  2. ataplaut
    February 8, 2009 at 10:47 am

    wah thanx banget pa
    ini yang saya butuhkan

    numpang baca ya

    mo promosi sekalian hee.hee
    buka punya saya ya
    http://ataplaut.wordpress.com

  3. ataplaut
    February 13, 2009 at 4:25 pm

    kebetulan minggu lalu saya berusaha menjelaskan ke nelayan binaan saya di Bangsring Banyuwangi mengenai kondisi terumbu karang mereka yang dominan ditutupi oleh xenia dan coraline alga…

    dengan membatasi penangkapan ikan ataupun biota herbivory merupakan langkah konkrit yang saat ini bisa saya anjurkan ke mereka..
    mungkin ada saran lain pa?

    makasih ya

  4. May 11, 2010 at 3:30 am

    Wonderful way of thinking. I like it. Thank you for sharing

  1. No trackbacks yet.

Leave a reply to ataplaut Cancel reply